15 Oktober 2018

wahai istri beritahu suami ternyata nafkah dan uang belanja itu berbeda


wahai istri beritahu suami ternyata nafkah dan uang belanja itu berbeda

wahai istri beritahu suami ternyata nafkah dan uang belanja itu berbeda


Islam mewajibkan seorang suami untuk memperlihatkan nafkah kepada keluarganya sesuai dengan batas kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan ijma para ulama :

1. Firman Allah swt,”..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan berdasarkan kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)

2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kau bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu dan janganlah kau menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)

3. Sabda Rasulullah saw,”Berilah dia (istrimu) makan tatkala kau makan, berilah dia pakaian tatkala kau berpakaian..” (HR. Abu Daud)

4. Adapun ijma; dikarenakan umat telah bersepakat dalam hal ini.

Nafkah di sini ialah memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, daerah tinggal, pembantu rumah tangga, perabotan, dan pengobatan istri ketika sakit.

Pemberian nafkah ini ialah menjadi hak yang harus diterima seorang istri yang telah diikat dengan ikatan perkawinan yang sah dan telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Maka ketika haknya tidak dipenuhi oleh suaminya sementara ia mempunyai kemampuan dan kesanggupan sungguh ia telah berlaku zhalim terhadapnya.

Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada keluarganya sangatlah tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka ia harus semakin memperlihatkan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika suami mempunyai tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan kesanggupannya.

Sedekah Istri kepada Suami

Pada dasarnya kiprah seorang perempuan (ibu) ialah di rumahnya memperlihatkan pelayanan terbaik buat suaminya, mendidik anak-anaknya dan mempersiapkan mereka untuk menjadi generasi terbaik umat ini. Tugas yang tidak bisa dilakukan kecuali melalui tangan seorang ibu. Pekerjaan ini tidaklah kalah beratnya dengan suaminya yang keluar mencari nafkah. Pekerjaan yang membutuhkan keseriusan, ketelatenan, kecerdasan dan keistiqomahan serta tidak ada batas waktu kerja melainkan full 24 jam berbeda dengan pekerjaan seorang suami di luar rumah.

Untuk itu masuk akal ketika dikatakan bahwa ibu ialah sekolah bagi anak-anaknya, ibulah yang mencetak abjad dan sifat seorang anak, menanamkan rujukan fakir dan akhlaknya serta memperlihatkan dasar-dasar ketahanan didalam dirinya untuk mengarungi masa depannya.

Namun demikian bukan berarti seorang perempuan tidak boleh (diharamkan) berdasarkan syariat bekerja di luar rumah sebab intinya asal segala sesuatu itu mubah (dibolehkan) ketika tidak ada keterangan dari syara’ yang melarangnya.

Terkadang perempuan dituntut bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, ibarat jikalau dia seorang janda yang mempunyai bawah umur yang masih kecil, atau ia hidup sebatang kara, penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan harian keluarganya meskipun dia sudah menghabiskan waktunya untuk itu, atau membantu orang tuannya yang sudah renta dan lainnya.

Atau terkadang lapangan pekerjaan di masyarakat yang membutuhkan para wanita, ibarat guru perempuan untuk bawah umur wanita, perawat, bidan, dokter kandungan dan lainnya. Setiap perempuan yang bekerja di luar rumah juga dituntut untuk tetap bisa menjaga diri dan kehormatannya serta menghindarkan hal-hal yang bisa menjatuhkan dirinya ke dalam fitnah.

Adapun penghasilan yang didapat seorang istri dalam pekerjaannya ialah hak dia sepenuhnya dan dia berhak membelanjakannya sesuai dengan keinginannya. Tidak dibolehkan bagi seorang suami untuk terlalu intervensi didalamnya akan tetapi diperbolehkan baginya memperlihatkan pertimbangan dan menasehatinya manakala ada kesalahan dalam membelanjakannya.

Seorang suami tidak berhak melarangnya untuk bederma dan bersedekah kepada siapapun yang dikehendakinya atau membelanjakannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun demikian si istri tetap dituntut untuk bijak didalam membelanjakan dan mensedekahkan harta tersebut. Ia juga harus bisa memilih skala prioritas didalam membelanjakannya janganlah dia mendahulukan sesuatu yang pemanis dari pada yang sekunder atau yang sekunder daripada yang primer.

Sebagaimana ditunjukan didalam sebuah hadits ketika tiba Zaenab istri Ibnu Mas’ud ke rumah Rasulullah saw dan meminta izin dari dia saw. Dikatakan kepada Rasulullah saw, ”Wahai Rasulullah saw ini Zaenab.” Beliau saw bertanya, ’Zaenab yang mana?’ Dijawab, ’istrinya Ibnu Masud.’ Beliau saw berkata, ’Ya silahkan.’ maka diizinkanlah dia untuk masuk. Dia bertanya, ’Wahai Nabi Allah, pada hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Aku mempunyai perhiasan dan saya ingin sedekahkan sedang saya melihat bahwa Ibnu Masud dan anaknya lebih berhak untuk mendapatkan sedekahku.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ’Ibnu Mas’ud suamimu dan anak lelakimu lebih berhak untuk mendapatkan sedekah.” (HR. Bukhori)

Wallahu A’lam

eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wajib Kamu Baca

Jasa Dukun Pelet Ampuh Sudah Terpercaya dan Handal Di Indonesia

Jasa Pelet dari Dukun Pelet Ampuh Sudah Terbukti Ampuh dan Tentunya Mahar Murah Reaksi Cepat Dukun pelet adalah:Orang yang memiliki kesangg...