Kisah Seorang Perempuan Yang Bertaubat
Dosa besar yang telah ia perbuat, mengantarkannya pada sebuah pertaubatan yang agung. Ia dirajam di kota Madinah. Taubatnya setara dengan taubat 70 warga Madinah. Bahkan, Rasul pun mensholatkannya. Jangan ragu untuk bertaubat.
Imran bin al-Husain al-Khunza radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada seorang perempuan dari Juhainah yang tiba kepada Rasulullah Shollallahu alayhi wa Sallam falam keadaan hamil alasannya ialah berzina. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar batas. Maka tegakkanlah aturan terhadapku.” Kemudian Nabi memanggil salah seorang walinya supaya memperlakukannya dengan baik. Beliau berkata, “Perlakukan dia dengan baik. Jika ia telah melahirkan maka bawalah dia kepadaku.” Maka ia melakukannya. Nabi pun memerintahkan untuk menghadirkan perempuan tersebut. Lalu bajunya diikatkan pada tubuhnya. Lalu dia memerintahkan supaya perempuan itu dirajam. Lalu Rasulullah menshalatkannya. Umar radhiallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Apakah engkau menshalatkan dia wahai Rasulullah? Sedangkan ia telah berbuat zina?” Rasulullah bersabda, “Ia telah melaksanakan taubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, pasti merea semua akan mendapatkan bagian. Apakah engkau mendapatkan keadaan yang lebih baik daripada ia yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah?” (HR. Muslim)
Makna di Balik Kata
Dalam riwayat yang dinukilkan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, ada seorang perempuan yang tiba kepada Nabi Shollallahu ‘alayhi wa sallam dalam keadaan hamil dikarenakan telah berzina.
Ia pun berkata, “Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar had(batas), maka tegakkanlah had (hukuman) terhadapku.” Yakni, saya telah melaksanakan sesuatu yang mengharuskanku untuk dikenai had (hukuman) maka tegakkanlah had itu terhadapku.
Lalu Nabi memanggil seorang walinya dan memerintahkannya untuk memperlakukannya dengan baik. Apabila ia telah melahirkan, maka hendaklah ia membawanya kepada Rasulullah.
Ketika ia telah melahirkan, walinya membawanya kepada Rasulullah. “Dan Nabi memerintahkannya untuk menghadirkan perempuan tersebut,” yaitu bajunya diselimutkan dan diikat supaya tidak tersikap auratnya. “Kemudian dia memerintahkan supaya perempuan tersebut dirajam, maka ia pun dirajam.” yaitu dilempari dengan batu. Ukuran kerikil itu tidak besar dan tidak kecil, sampai ia meninggal. Lalu Nabi menshalatkannya.
Beliau mendoakannya dengan doa bagi orang yang telah meninggal. “Lalu Umar berkata kepadanya, ‘Apakah engkau menshalatkannya sedangkan dia telah berbuat zina, wahai Rasulullah?” Sedangkan zina ialah termasuk dosa yang paling besar. Maka Rasulullah berkata, “Ia telah berta ubat dengan taubat yang apabila dibagikan kepada 70 penduduk Madinah, pasti merea semua akan mendapatkan bagian.”Yakni, taubat yang luas, seandainya dibagikan kepada 70 orang dimana semua mereka berbuat dosa, pasti mereka akan mendapatkan taubat itu dan bermanfaat untuk mereka.
“Apakah engkau mendapatkan keadaan yang lebih baik daripada ia yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala?”Yaitu, apakah engkau mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari keadaan ini. Yaitu seorang perempuan yang tiba dan telah membersihkan dirinya, yaitu menyerahkan dirinya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan terlepas dari dosa zina. Tidak ada yang lebih baik dari hal ini.
Pelajaran dari Kisah Ini
Pertama, seorang pezina jikalau ia seorang muhshan (telah menikah) maka ia wajib untuk dirajam. Ini disebutkan dalam kitab Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan ayat yang dibaca oleh kaum Muslimin dan mereka hapalkan, mereka pahami dan terapkan. Nabi dan para Khulafaur Rasyidin setelahnya telah melaksanakan rajam. Tapi Allah dengan kebijaksanaan-Nya telah menghapusnya dari Al-Qur’an secara lafadz dan membiarkan hukumnya berlaku di antara umat ini. Apabila seorang yang muhshan, yaitu yang telah menikah melaksanakan perzinaan, maka ia akan diraham sampai meninggal. Ia diberdirikan di daerah yang luas. Lalu orang-orang berkumpul dan mengambil kerikil yang mereka gunakan untuk melemparnya sampai meninggal.
Ini merupakan hikmah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Yaitu, syariat tidaklah memerintahkan untuk memenggal kepalanya dengan pedang sehingga perkaranya selesai. Tapi ia dirajam supaya ia tersiksa dan mencicipi pedihnya siksaan sebagai akibat apa yang telah ia dapatkan, berupa lezatnya sesuatu yang haram alasannya ialah orang yang berbuar zina ini seluruh badannya mencicipi nikmatnya sesuatu yang haram.
Karenanya, para Ulama rahimahullah beropini untuk tidak memakai kerikil besar. Sebab, ia akan membunuhnya dengan cepat dan ia pun terbebas. Tidak pula dengan kerikil kecil sekali alasannya ialah hal itu akan menyakitinya dan usang matinya. Tapi dengan kerikil yang sedang sehingga ia sanggup mencicipi sakit kemudian mati.
Apabila ada seseorang yang mengatakan, bukankah Rasulullah telah mengatakan:
“Apabila kalian membunuh maka membunuhlah dengan baik dan apabila kalian menyembelih maka sembelilah dengan baik.” (HR.Muslim)
Membunuh dengan pedang lebih enak bagi orang yang dirajam, daripada ia harus dirajam dengan batu.
Kita katakan, benar Rasulullah telah berkata demikian. Tapi pembunuhan yang baik ialah terjadi apabila alasannya ialah sesuai dengan syariat. Karena itu, apabila seorang pria yang telah bertindak jahat kepada seseorang, kemudian ia membunuhnya dengan sengaja dan memutilasi (membunuh dengan memotong-motong anggota tubuh), maka kita akan memutilasi pelaku kejahatan ini sebelum kita membunuhnya.
Misalnya, jikalau seorang pelaku kejahatan membunuh seorang. Lalu ia memotong kedua tangannya. Kemudian kedua kakinya, lisannya kemudian kepalanya, maka kita tidak membunuh pelaku kejahatan tersebut dengan pedang. Tapi kita potong kedua tangannya, kemudian kedua kakinya, lisannya, kita potong kepalanya sebagaiana ia berbuat. Ini termasuk bersikap baik dalam membunuh. Karena perilaku baik dalam membunuh ialah dengan sesuatu yang sesuai dengan syariat bagaimanapun keadaannya.
Dalam hadits ini, terdapat dalil yang menyampaikan bolehnya seseorang untuk mengakui dirinya berbuat zina, dengan tujuan untuk mensucikan dirinya dengan penegakan had, bukan untuk membuka kejelekan dirinya. Orang yang membicarakan dirinya bahwa ia telah melaksanakan perzinaan dihadapan Imam atau wakilnya dengan tujuan supaya ditegakkan eksekusi atas dirinya maka orang ini tidaklah dicela dan dihina.
Adapun orang yang menceritakan kepada masyarakat bahwa dia telah berbuat zina, berarti ia telah membongkar malu dirinya sendiri. Ia tak akan dimaafkan. Rasulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda :
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang mujahir (terang-terangan). Mereka (para sahabat) berkata, “Siapakah orang yang mujahir itu?” Beliau berkata, “Ia ialah orang yang berbuat dosa kemudian Allah tutupi aibnya. Lalu pada pagi harinya ia menceritakannya.” (HR. Muttafaq alaih)
Ada jenis yang ketiga, yaitu orang fasik yang melampaui batas dan tidak punya rasa malu. Ia bercerita wacana ziba dengan bangga, na’udzu billah!Ia berkata bahwa dia pergi ke banyak sekali negeri untuk berbuat dosa, berzina dengan banyak wanita, dan banyak sekali kemaksiatan lainnya, dengan rasa bangga.
Orang ini harus diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka ia akan mendapatkan ampunan. Jika tidak, maka ia dibunuh. Sebab orang yang besar hati dengan perbuatan zina, maka sudah pasti ia menghalalkan zina, na’udzu billah! Barangsiapa yang menghalalkan perbuatan zina maka dia ialah orang kafir.
Sebagian orang fasik melaksanakan hal itu. Yaitu, orang-orang yang alasannya ialah perbuatannya, kaum muslimin mendapatkan musibah. Banyak orang merasa besar hati dnegan hal ini. Jika ia pergi ke suatu negeri yang populer dengan kefasikan dan tidak ada rasa malu menyerupai Bangkok dan negeri-negeri yang penuh kekejian perzinaan, homoseksual, khamar dan lain sebagainya, kemudian ia pulang menjumpai temannya dan besar hati menceritakan apa yang telah dilakukan.
Orang ini, sebagaimana telah dikatakan harus dimintai untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka ia diampuni. Jika tidak mau, maka ia dibunuh. Karena orang yang menghalalkan perzinaan dan lainnya diantara perbuatan yang diharamkan secara terperinci dan disepakati keharamannya, maka ia ialah orang kafir.
Rincian Taubat Nasuha
Bisa jadi seseorang telah bertaubat dengan taubat yang nasuha (taubat dengan benar), ia menyesal dan berjanji kepada dirinya untuk tidak mengulanginya. Orang ini sebaiknya tidak pergi dan menceritakan wacana dirina. Tapi hendaklah ia merahasiakan masalah itu dan hanya Allah yang tahu. Barangsiapa yang bertaubat maka Allah akan mendapatkan taubat.
Adapun orang khawatir bahwa taubatnya bukanlah taubat yang nasuha dan khawatir jikalau ia akan kembali pada perbuatan dosa, sekali lagi maka orang ini sebaiknya pergi kepada pemerintah, hakim, dan lainnya, kemudian mengaku dihadapannya supaya ditegakkan eksekusi terhadapnya.
Sumber : Memetik Hikmah dari Telaga Sunnah (Kumpulan Kisah dari Syaikh Utsaimin) oleh Shalahuddin Mahmud as-Sa’id, Pustaka At-Tazkia, 2006 (hal. 181-188)
(Muslimahzone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar