13 Oktober 2018

Kuburan Amis Di Tengah Sawah

Masa-masa selesai kehidupannya masih dipenuhi acara mengaji dan membimbing umat. Ia wafat saat selesai memperlihatkan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.

Selalu saja setiap orang yang melintas di tepian sawah itu mencicipi aroma yang begitu wangi. Sudah banyak orang yang tiba menyempatkan diri untuk berziarah sambil melihat-lihat be­kas surau yang pernah jaya dan kini sudah uzur dimakan usia.

Kuburan itu hanya kuburan seder­hana, tidak ada bunga berantakan di sana, tapi daya tariknya sungguh luar biasa. Apakah udara di sekitar itu yang wangi atau lantaran terletak di tempat yang sejuk dan nihil polusi? Tidak juga, lantaran bila peziarah melangkah be­berapa meter menjauhi kuburan itu yang tercium hanya udara segar biasa, tidak ada tercium busuk wangi.

Terletak di tengah hamparan sawah dengan pemandangan yang menakjub­kan, di latar belakang berdiri kokoh Gu­nung Marapi dan Singgalang. Sawah dan surau itu telah mendidik anak nagari sekian generasi, dan seiring dengan per­kembangan zaman keberadaannya se­makin tergerus dengan munculnya ber­bagai budaya gres dan tontonan yang melalaikan. Kini surau itu kosong me­lompong.

Terletak di sebuah nagari di ping­gang Gunung Marapi, Sumatera Barat, tidak banyak orang luar yang tahu bahwa bekas surau tempat mengaji itu juga mem­punyai kuburan yang sering jadi tempat tujuan ziarah. Karena tempatnya yang terpencil di tengah sawah, isu dari verbal ke mulutlah yang menjadi media ampuh publikasi sehingga orang mulai tertarik untuk berziarah ke sana.

Dulunya tanah surau itu memang tidak diperuntukkan bagi kuburan, ka­rena hanya sedikit tanah yang tersisa di samping halaman, selebihnya ialah sawah-sawah yang subur menghampar. Tapi sebelum meninggal, Antan Bagindo Hasan, yang setia menghidupkan surau dan mengajar mengaji, memperlihatkan pe­san kepada orang sesukunya untuk di­kuburkan di samping surau itu.

Antan Bagindo, begitu murid-murid­nya bersahabat memanggil dirinya, ditinggal wafat istrinya saat anak-anaknya ma­sih kecil.

Ia, yang shalih dan memiliki ilmu agama yang cukup, dengan telaten mem­besarkan anak-anaknya dan mendiri­kan surau di tengah sawah yang jauh dari keramaian penduduk.

Di sanalah daya tariknya, dalam waktu yang panjang surau itu menjadi referensi orangtua untuk menyerahkan belum dewasa mereka dalam pendidikan agama. Di tahun-tahun lima puluhan sam­pai tujuh puluhan, masa keemasan surau di ranah Minang sedang mencapai puncaknya. Para lelaki yang memang ti­dak punya ruangan di rumah gadang mereka merasa betah berlama-lama di surau. Sehingga surau menjadi sentra akvitas mereka. Pulang sekolah ke su­rau, nanti sore pulang ke rumah sebentar kemudian menjelang maghrib tiba lagi ke surau. Belajar agama malam hari, dan te­ngah malam shalat Tahajjud. Menje­lang subuh berdiri lagi, nanti sesudah shalat Subuh kembali ke rumah untuk pergi ke sekolah.

Begitulah acara keagamaan belum dewasa di ranah Minang pada masa itu, mereka digembleng dengan pendidikan su­rau ditambah pula dengan seni bela diri. Sehingga saat mereka merantau, orangtua tidak cemas untuk melepas­nya, lantaran dari kecil sudah dibekali pen­didikan agama dan ilmu bela diri.

Surau dan rantau ialah dua hal yang selalu menjadi andalan para laki-laki Minang, lantaran mereka dibesarkan di alam matriakhat, yang rumah menjadi sesuatu yang absurd bagi mereka, lantaran rumah ialah tempat saudara perem­puan mereka. Walaupun begitu mereka yang mencar ilmu mengaji di surau tentu tidak hanya pria, tapi juga ada wanita. Dan ruang tidur laki-laki dan perempuan tentu dipi­sahkan jauh.

Antan Bagindo ialah salah satu pemilik surau dan pendidik yang populer di masanya. Ia ialah tipe pendidik se­jati, sabar, pandai membujuk belum dewasa untuk mengaji, punya segudang kisah yang dilantunkan sebelum tidur, serta punya selera humor yang tinggi.

Anak-anaknya juga ikut mengaji ber­sama di malam hari. Ia tidak pernah mem­bedakan anak atau murid bila su­dah mengaji. Terhadap mereka, disiplin diberlakukan sama.

Itu bukti kecintaannya kepada anak muridnya, ia tidak ingin melihat mereka lalai dalam mengaji dan mencar ilmu dasar-dasar ilmu agama.

Biasanya menjelang shalat Subuh ada saja yang sulit untuk dibangunkan, maka setetes dua tetes air pegunungan yang begitu hirau taacuh akan menciptakan si murid terbangun.

Orangtua dan lingkungan sangat mendukungnya untuk men­jadikan belum dewasa mereka taat dan alim. Jarang orang­­tua yang tidak hormat kepada guru mengaji atau ustadz. Peng­hor­matan mere­ka sa­ngat luar biasa.

Godaan waktu itu juga belum begitu se­dah­syat sekarang. Te­levisi belum ada, radio ha­nya dipunyai oleh orang-orang tertentu. Ber­beda dengan zaman seka­rang. Anak-anak bukannya tekun meng­aji, tapi banyak yang berkeliaran dan sibuk menonton televisi.

Apa yang didapat saat mengaji di surau Antan Bagindo begitu menempel dan meresap dalam banyak pribadi dari ge­nerasi ke generasi, sehingga bila men­dengar namanya orang pun menunduk ta’zim dan menaruh hormat yang tulus. Muridnya bertebaran di mana-mana de­ngan aneka macam macam profesi, tapi yang terpenting mereka merasa beruntung lantaran pernah mengaji dan menerima didikan yang begitu baik di bawah asuh­an Antan Bagindo.

Kadang bila surau sudah terlalu ba­nyak dipenuhi belum dewasa mengaji, Antan dibantu oleh satu atau dua orang ustadz muda, yang menjadi murid Pe­santren Tarbiyah yang masih berada di nagari itu, tapi itu hanya bersifat semen­tara. Mereka yang ikut mengaji lebih senang bila Antan yang membimbing mereka.

Di samping mengajar mengaji, Antan Bagindo juga menanamkan pendidikan akhlaq, dan tak lupa menceritakan ber­bagai kisah yang mengukuhkan iman.

Perayaan khatam Al-Qur’an merupa­kan masa yang sering dile­ma­tis bagi se­tiap anak yang mengaji di surau An­tan, lantaran mereka telah dianggap cu­kup baik untuk di­lepas de­ngan pera­yaan yang khas dan me­riah tapi juga mere­ka harus ber­pisah dengan surau. Bia­sa­nya Antan masih mendapatkan dengan ta­ngan terbuka mereka yang sudah khatam ini untuk kembali ke surau, mereka sanggup mengaji lanjutan atau ikut mem­bantu adik kelasnya mengaji. Tapi tentu tidak semuanya sanggup ditampung, lantaran ba­nyak lagi yang antre mau mengaji dan menjadi warga surau.

Tapi bagi Antan sendiri itu bukan se­suatu masalah. Baginya, bila belum dewasa rindu dengan surau, kapan pun me­reka sanggup datang, baik siang maupun malam. Cinta, pengabdian, dan akhlaq Antan kepada murid-muridnya menciptakan ia disayang dan menjadi contoh bagi semua warga. Ia ialah suluh dalam na­gari, tempat bertanya saat akan pergi dan tempat mengadu saat pulang.

Masa-masa selesai kehidupannya ma­sih dipenuhi acara mengaji dan mem­bimbing umat.

Antan Bagindo wafat selesai mem­beri­kan khutbah Jum’at di masjid nagari yang dicintainya.

Proses wafatnya berlangsung cepat. Hanya sebentar ia mencicipi agak pu­sing, kemudian saat akan berdiri ia terkulai le­mas. Ia wafat di tempat yang suci dan jama’ah masih banyak yang belum pu­lang.

Pada malam harinya ia eksklusif di­kuburkan, dihadiri hampir semua warga nagari.

Para peziarah tak henti-hentinya ber­datangan, bahkan juga dari luar keca­mat­an. Murid-muridnya yang tersebar ke mana-mana berdatangan tanpa henti, entah sanggup isu dari mana, padahal zaman itu belum ada telepon. Sungguh selesai yang indah dan husnul khatimah. Dan besok paginya sudah menjalar isu itu, kuburannya dipenuhi aroma wangi.



Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah


Surau ialah ciri khas yang berkembang di tengah masyarakat Minangkabau. Tradisi pendidik­an surau terbukti ampuh melahirkan ba­nyak alim ulama dan kaum terpelajar di ranah Minang. Dengan tradisi tersebut, belum dewasa di sana telah dilatih semenjak kecil untuk taat, mermpunyai dasar agama yang kuat, serta mandiri. Lalu nanti di­teruskan dengan tradisi merantau, yang akan menggembleng mereka menjadi ulet, gigih, dan tidak gampang berputus asa.

Mendidik umat ialah pekerjaan yang amat mulia, dengan syarat ikhlas, semata-mata melaksanakan lantaran meng­harapkan ridha Allah SWT. Sudah jelas, jadinya ialah kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Mereka yang tulus melaksanakan tarbiyah kepada umat, Allah SWT ridha terhadap mereka. Balasannya ialah surga, yang penuh kenikmatan.

Pada zaman dulu keyakinan orang begitu berpengaruh terhadap jawaban Allah SWT di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya, ba­nyak sekali orang siak (semacam ustadz) di ranah Minang yang hidupnya total di­abdikan untuk agama. Mereka tidak per­nah merasa khawatir terhadap rizqi atau pernik-pernik dunia lainnya, lantaran haqul yakin dengan janji-janji Allah SWT.

Tentu berbeda dengan sekarang, ke­tika yang dikedepankan ialah imbalan materi, yang tentu sedikit banyak mem­pengaruhi niat seseorang. Apa yang ter­jadi dengan ustadz yang dikisahkan ini men­jadi semacam penguat bagi mereka yang total mengikhlaskan hidupnya untuk Allah SWT. Cukuplah Allah SWT yang memperlihatkan balasan.

Dalam banyak kisah, kita juga sering mendengar bagaimana keutamaan yang didapatkan oleh para kekasih Allah SWT, atau mereka yang memiliki kelebihan, ibarat para mujahid, penghafal Al-Qur’an, wali, nabi, dan rasul Allah SWT. Ini menjadi bukti yang akan menciptakan ma­nu­sia beriman semakin kuat, tidak ga­lau dengan aneka macam tawaran, godaan, yang menyilaukan mata, yang nantinya berujung dengan terkikisnya iman.

Semoga kita semakin kukuh dalam doktrin dan Islam serta berusaha ber­sung­guh-sungguh untuk meraih ridha-Nya, di mana pun berada. Demikian mauizhah Buya Basri Bermanda, ketua umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3403-kuburan-wangi-di-tengah-sawah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wajib Kamu Baca

Jasa Dukun Pelet Ampuh Sudah Terpercaya dan Handal Di Indonesia

Jasa Pelet dari Dukun Pelet Ampuh Sudah Terbukti Ampuh dan Tentunya Mahar Murah Reaksi Cepat Dukun pelet adalah:Orang yang memiliki kesangg...