Itulah contoh pandang Pygmalion. Ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk ihwal orang lain; sebaliknya, ia mencoba membayangkan hal-hal baik dibalik perbuatan buruk orang lain.
Pada suatu hari Pygmalion mengukir sebuah patung perempuan dari kayu yang sangat halus. Patung itu berukuran insan sungguhan. Ketika sudah rampung, patung itu tampak menyerupai insan betul. Wajah patung itu tersenyum manis menawan, tubuhnya elok menarik.

Kawan-kawan Pygmalion berkata, “Ah,sebagus- bagusnya patung, itu cuma patung, bukan isterimu.”
Tetapi Pygmalion memperlakukan patung itu sebagai insan betul. Berkali-kali patung itu ditatapnya dan dielusnya.
Para yang kuasa yang ada di Gunung Olympus memperhatikan dan menghargai perilaku Pygmalion, kemudian mereka tetapkan untuk memberi anugerah kepada Pygmalion, yaitu mengubah patung itu menjadi insan betul. Begitulah, Pygmalion hidup berbahagia dengan isterinya itu yang konon yaitu perempuan tercantik di seluruh negeri Yunani. Nama Pygmalion dikenang sampai sekarang untuk menunjukan pengaruh contoh berpikir yang positif. Kalau kita berpikir nyata ihwal suatu keadaan atau seseorang, seringkali hasilnya betul-betul menjadi positif. Misalnya, Jika kita bersikap ramah terhadap seseorang, maka orang itupun akan menjadi ramah terhadap kita.
Jika kita memperlakukan anak kita sebagai anak yang cerdas, hasilnya beliau betul-betul menjadi cerdas.
Jika kita yakin bahwa upaya kita akan berhasil, besar sekali kemungkinan upaya sanggup merupakan separuh keberhasilan.

Dampak contoh berpikir nyata itu disebut pengaruh Pygmalion. Pikiran kita memang seringkali memiliki pengaruh fulfilling prophecy atau ramalan tergenapi, baik nyata maupun negatif. Kalau kita menganggap tetangga kita judes sehingga kita tidak mau bergaul dengan dia, maka hasilnya beliau betul-betul menjadi judes. Kalau kita mewaspadai dan menganggap anak kita tidak jujur, hasilnya ia betul-betul menjadi tidak jujur.
Kalau kita sudah frustasi dan merasa tidak sanggup pada awal suatu usaha, besar sekali kemungkinannya kita betul-betul akan gagal.
Pola pikir Pygmalion yaitu berpikir, mengira dan berharap hanya yang baik ihwal suatu keadaan atau seseorang. Bayangkan, bagaimana besar dampaknya bila kita berpola pikir nyata menyerupai itu. Kita tidak akan berprasangka buruk ihwal orang lain. Kita tidak menggunjingkan desas-desus yang buruk ihwal orang lain. Kita tidak menduga-duga yang jahat ihwal orang lain.
Kalau kita berpikir buruk ihwal orang lain, selalu ada saja materi untuk mengira hal-hal yang buruk. Jika ada seorang mitra memberi hadiah kepada kita, terang itu yaitu perbuatan baik. Tetapi jikalau kita berpikir buruk,kita akan menjadi curiga, “Barangkali ia sedang mencoba membujuk,” atau kita mengomel, “Ah, hadiahnya cuma barang murah.” Yang rugi dari contoh pikir menyerupai itu yaitu diri kita sendiri.Kita menjadi gampang curiga. Kita menjadi tidak bahagia. Sebaliknya, kalau kita berpikir positif, kita akan menikmati hadiah itu dengan rasa besar hati dan syukur, “Ia begitu murah hati. Walaupun ia sibuk, ia ingat untuk memberi kepada kita.”

Warna hidup memang tergantung dari warna beling mata yang kita pakai. Kalau kita menggunakan beling mata kelabu, segala sesuatu akan tampak kelabu. Hidup menjadi kelabu dan suram. Tetapi kalau kita menggunakan beling mata yang terang, segala sesuatu akan tampak cerah. Kaca mata yang berprasangka atau benci akan menyebabkan hidup kita penuh rasa curiga dan dendam. Tetapi beling mata yang hening akan menyebabkan hidup kita damai.
Hidup akan menjadi baik kalau kita memandangnya dari segi yang baik. Berpikir baik ihwal diri sendiri. Berpikir baik ihwal orang lain. Berpikir baik ihwal keadaan. Berpikir baik ihwal Tuhan. Dampak berpikir baik menyerupai itu akan kita rasakan. Keluarga menjadi hangat. Kawan menjadi sanggup dipercaya. Tetangga menjadi akrab. Pekerjaan menjadi menyenangkan. Dunia menjadi ramah. Hidup menjadi indah. Seperti Pygmalion, begitulah.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar